بسم الله الرحمن الرحيم

Sabtu, 08 Maret 2014

KISAH 3 BUNGA DI TERIK MATAHARI





Bismillaah...
            Panas mentari membakar kulitku pada siang hari yang sangat cerah ini. Matahari benar-benar menampakkan pesonanya hingga sepasang mata tak mampu menatapnya walau sekejap. Seolah setiap insan yang berlalu lalang di jalanan ingin segera menghindar dari sentuhan sang mentari. Begitu pula dengan diriku, hanya dalam hitungan detik saja lisanku sudah mulai banyak cakap lantaran sengatannya yang nyaris membakar kulitku, padahal aku berlindung di balik hijab tebal yang menyelimuti tubuhku.
Entah kenapa, tingkat suhu panas di Kediri kian meningkat saja dari hari ke hari. Padahal Kediri hanyalah kota kecil. Mungkinkah lapisan ozon sudah semakin menipis? Lantas, siapa pula tersangka di balik semua ini kalau bukan manusia yang berulah? Pohon-pohon di hutan dibabat habis tanpa pernah mempedulikan kehidupan makhluk Alloh yang lain. Semua demi kepentingan individual. Semua demi kesenangan per golongan. Padahal... Makhluk Alloh di seberang sana menangis, mereka merintih di tengah duka. Mereka tengah menyaksikan peradaban yang semakin tak tahu diri. Yang berkuasa semakin semena-mena. Yang dikuasai semakin tersiksa. Sedangkan makhluk yang senantiasa bertasbih itu hanya bisa menjadi saksi bisu atas kerakusan manusia.
Duhai... Tidakkah jiwa mereka merasakan bahwa pohon-pohon yang mereka tebang dengan serakah itu tengah mengagungkan asma Robbnya? Juga para binatang yang senantiasa bertasbih dengan cara yang tak kita ketahui pun turut berduka cita atas musibah yang menimpa mereka. Terlebih lagi bumi dan seluruh apa yang dihuninya harus merasakan panas sang mentari. Kelak semua akan dipertanggungjawabkan di hadapan Alloh robbul ‘izzati wal jalaalah. Dan kelak semua saksi bisu akan berbicara dengan kehendak Robbnya. Ya, manusia benar-benar akan mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang telah ia perbuat.
Fenomena ini pun sempat terbersit dalam ingatanku. Tapi, kucoba tetap menikmati bantalan empuk motor di bawah terik matahari yang setia menemaniku dalam perjalanan. Perjalanan yang cukup menguntungkan karena aku dibonceng, bukan membonceng. Karena bagiku membonceng di siang hari sangatlah menjemukan. Sebagai wanita yang normal, aku pun juga harus menjaga kulitku supaya tidak terbakar sinar ultra violet ^^.
Motorpun berhenti di depan terminal bus. Aku pun turun dengan berlari kecil sambil menggenggam tas besar, dan kemudian segera berteduh di bawah pohon yang rindang. Segera kuturunkan tas tersebut dari tanganku. Kemudian aku menghampiri ibuku yang sedang menggendong cucu pertamanya, Affan. Karena saking gemasnya, aku langsung menciumi pipi ponakanku tersebut. Seolah tak ingin melepaskannya.
Hari ini Mas Kharis harus ke Jakarta untuk meneruskan studi D-4 di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Tentu saja dia mengajak serta Mbak Nana (istrinya) dan si kecil Affan yang baru berumur 2 tahun untuk tinggal di kota metropolitan tersebut. Padahal baru dua pekan lalu mereka tiba di Kediri setelah kurang lebih 3 tahun menetap di Nias, Sumatera Utara, lantaran pihak STAN menempatkannya di sana. Alhamdulillah, mereka bisa hijrah dari Pulau Nias yang mayoritas penduduknya non muslim ke tanah Jawa yang merupakan wilayah kaum muslimin terbanyak. Suka duka dan pahit getirnya kehidupan di tanah Nias akhirnya sudah mereka akhiri di bulan Februari lalu.
Selama dua pekan di Kediri, aku banyak menghabiskan waktu bersama Affan. Masya Alloh, dia semakin lucu saja. Sudah banyak kata-kata yang bisa ia ucapkan. “Abii.. Ummii.. Kung.. Uti... Om.. Ammah... Kakak.. Adek... Maem.. Minum...” dan seabrek perkataan lain yang diucapkannya dengan sangat lihai. Yang paling mengesankan dari Affan adalah saat kuucapkan kalimatulloh, entah saat mengaji, atau muroja’ah, dia tersenyum sambil melihat ke atas langit. Maa syaaAlloh... pemandangan yang amat membuat hatiku terenyuh. Betapa Alloh sungguh Maha Besar. Anak kecil pun diberi fitrah yang amat suci. Hingga seolah-olah ia sedang bertasbih dengan senyumannya itu.
Mas Kharis, dia juga sering mengajakku bercanda selama di Kediri, bahkan sering menraktir kami sekeluarga. Tak pernah takut jika hartanya berkurang. Dia memanglah sosok kakak yang perhatian. Semoga Alloh senantiasa menjaganya di atas hidayah dan istiqomah. Mbak Nana juga sangat berkesan selama di sini. Kakak ipar yang amat supel dan ceria. Sekali-kali juga bergaya alay, tapi sangat menggelikan. Di Kediri dia jadi dokter dadakan, melalui perantaranya, Alloh menyembuhkan luka “cantheng”ku yang kuderita selama 1 tahun lalu. Hmm, sangat terharu mengingat masa-masa bersama mereka.
Jam setengah 2 siang tadi mereka berangkat ke Jakarta naik bus Harapan Jaya. Mata ini berkaca-kaca saat melihat Mbak Nana memeluk ibuku dengan isak tangis, seolah-olah seperti ibu dan anak kandung yang akan berpisah lama sekali. Cukup lama dia menangis di pelukan ibu. Mungkin dia merasakan beban yang amat berat untuk meninggalkan Kediri, tanah kelahirannya. Menerawang jauh ke depan bahwa dia harus berjuang membahagiakan suami dan anaknya di kota metropolitan, jauh dari sanak keluarga. Kembali berkutat dengan pekerjaan mulia sebagai ibu rumah tangga dengan kesendirian serta kembali menyesuaikan diri dengan para tetangga. Yah, begitulah beban yang harus ia rasakan sebagai seorang istri dari suami orang STAN yang menuntut untuk sering berpindah-pindah tempat kerja lagi jauh dari keluarga. Tapi ia adalah sosok wanita yang kuat, sabar, dan menerima kenyataan yang ada. Oh kakak iparku, semoga Alloh senantiasa menguatkanmu, dan memberimu kesabaran untuk senantiasa berbakti pada pintu surgamu hingga akhir hayat.
Kami berpelukan dan mengucapkan selamat jalan. Kucium tangan mas Kharis, dia minta pada adik-adiknya supaya diberikan keistiqomhan di atas Islam yang haq ini. Pasti mas, aku akan selalu mendoakanmu. Kucium Affan untuk terakhir sebelum ia pergi merantau ke Jakarta. Kami lambaikan tangan dengan penuh haru, sambil hati ini berucap lirih di sanubari yang paling dalam.
“Yaa Alloh... Jadikanlah mereka bahagia dengan islam, jadikanlah mereka kuat dan istiqomah di perantauan. Karena semua takdirMu adalah yang terbaik untuk hamba-hambaMu.”
Selamat jalan Kakak... Semoga engkau dimudahkan di sana untuk menuntut ilmu syar’i yang mana merupakan jalan menuju surga Alloh ta’ala. Mengemban amanat untuk selalu taat padaNya dan hanya beribadah kepadaNya.
***
Kak...
Hendaknya kita mengukur ilmu bukan dari tumpukan buku yang kita baca,
bukan dari rentetan kata yang kita tuliskan,
dan bukan pula dari lelahnya mulut dalam berbicara soal agama...
Tapi, dari amal yang terpancar dari setiap desah nafas kita,
dan semakin takutnya hati kita pada Alloh ta’ala..
juga ketawadhu’an hati pada kebesaranNya...
Sesungguhnya padi itu apabila semakin berisi, maka ia akan semakin merunduk...
Begitu pula dengan manusia, apabila ia semakin berilmu, maka ia akan semakin tawadhu’...



Kediri, 8 Maret 2014
Di kamar tercinta


1 komentar: