Panas
mentari membakar kulitku pada siang hari yang sangat cerah ini. Matahari benar-benar
menampakkan pesonanya hingga sepasang mata tak mampu menatapnya walau sekejap. Seolah
setiap insan yang berlalu lalang di jalanan ingin segera menghindar dari
sentuhan sang mentari. Begitu pula dengan diriku, hanya dalam hitungan detik saja
lisanku sudah mulai banyak cakap lantaran sengatannya yang nyaris membakar
kulitku, padahal aku berlindung di balik hijab tebal yang menyelimuti tubuhku.
Entah kenapa, tingkat suhu panas di Kediri
kian meningkat saja dari hari ke hari. Padahal Kediri hanyalah kota kecil. Mungkinkah
lapisan ozon sudah semakin menipis? Lantas, siapa pula tersangka di balik semua ini kalau
bukan manusia yang berulah? Pohon-pohon di hutan dibabat habis tanpa pernah mempedulikan
kehidupan makhluk Alloh yang lain. Semua demi kepentingan individual. Semua demi
kesenangan per golongan. Padahal... Makhluk Alloh di seberang sana menangis,
mereka merintih di tengah duka. Mereka tengah menyaksikan peradaban yang
semakin tak tahu diri. Yang berkuasa semakin semena-mena. Yang dikuasai semakin
tersiksa. Sedangkan makhluk yang senantiasa bertasbih itu hanya bisa menjadi
saksi bisu atas kerakusan manusia.
Duhai... Tidakkah jiwa mereka merasakan
bahwa pohon-pohon yang mereka tebang dengan serakah itu tengah mengagungkan
asma Robbnya? Juga para binatang yang senantiasa bertasbih dengan cara yang tak
kita ketahui pun turut berduka cita atas musibah yang menimpa mereka. Terlebih lagi
bumi dan seluruh apa yang dihuninya harus merasakan panas sang mentari. Kelak semua
akan dipertanggungjawabkan di hadapan Alloh robbul ‘izzati wal jalaalah. Dan kelak
semua saksi bisu akan berbicara dengan kehendak Robbnya. Ya, manusia
benar-benar akan mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang telah ia perbuat.
Fenomena ini pun sempat terbersit dalam
ingatanku. Tapi, kucoba tetap menikmati bantalan empuk motor di bawah terik
matahari yang setia menemaniku dalam perjalanan. Perjalanan yang cukup
menguntungkan karena aku dibonceng, bukan membonceng. Karena bagiku membonceng di
siang hari sangatlah menjemukan. Sebagai wanita yang normal, aku pun juga harus
menjaga kulitku supaya tidak terbakar sinar ultra violet ^^.
Motorpun berhenti di depan terminal bus. Aku
pun turun dengan berlari kecil sambil menggenggam tas besar, dan kemudian
segera berteduh di bawah pohon yang rindang. Segera kuturunkan tas tersebut
dari tanganku. Kemudian aku menghampiri ibuku yang sedang menggendong cucu
pertamanya, Affan. Karena saking gemasnya, aku langsung menciumi pipi ponakanku
tersebut. Seolah tak ingin melepaskannya.
Hari ini Mas Kharis harus ke Jakarta
untuk meneruskan studi D-4 di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Tentu saja
dia mengajak serta Mbak Nana (istrinya) dan si kecil Affan yang baru berumur 2
tahun untuk tinggal di kota metropolitan tersebut. Padahal baru dua pekan lalu
mereka tiba di Kediri setelah kurang lebih 3 tahun menetap di Nias, Sumatera
Utara, lantaran pihak STAN menempatkannya di sana. Alhamdulillah, mereka bisa
hijrah dari Pulau Nias yang mayoritas penduduknya non muslim ke tanah Jawa yang
merupakan wilayah kaum muslimin terbanyak. Suka duka dan pahit getirnya
kehidupan di tanah Nias akhirnya sudah mereka akhiri di bulan Februari lalu.
Selama dua pekan di Kediri, aku banyak
menghabiskan waktu bersama Affan. Masya Alloh, dia semakin lucu saja. Sudah banyak
kata-kata yang bisa ia ucapkan. “Abii.. Ummii.. Kung.. Uti... Om.. Ammah...
Kakak.. Adek... Maem.. Minum...” dan seabrek perkataan lain yang diucapkannya
dengan sangat lihai. Yang paling mengesankan dari Affan adalah saat kuucapkan
kalimatulloh, entah saat mengaji, atau muroja’ah, dia tersenyum sambil melihat
ke atas langit. Maa syaaAlloh... pemandangan yang amat membuat hatiku terenyuh.
Betapa Alloh sungguh Maha Besar. Anak kecil pun diberi fitrah yang amat suci. Hingga
seolah-olah ia sedang bertasbih dengan senyumannya itu.
Mas Kharis, dia juga sering mengajakku
bercanda selama di Kediri, bahkan sering menraktir kami sekeluarga. Tak pernah
takut jika hartanya berkurang. Dia memanglah sosok kakak yang perhatian. Semoga
Alloh senantiasa menjaganya di atas hidayah dan istiqomah. Mbak Nana juga
sangat berkesan selama di sini. Kakak ipar yang amat supel dan ceria. Sekali-kali
juga bergaya alay, tapi sangat menggelikan. Di Kediri dia jadi dokter dadakan,
melalui perantaranya, Alloh menyembuhkan luka “cantheng”ku yang kuderita selama
1 tahun lalu. Hmm, sangat terharu mengingat masa-masa bersama mereka.
Jam setengah 2 siang tadi mereka
berangkat ke Jakarta naik bus Harapan Jaya. Mata ini berkaca-kaca saat melihat Mbak
Nana memeluk ibuku dengan isak tangis, seolah-olah seperti ibu dan anak kandung
yang akan berpisah lama sekali. Cukup lama dia menangis di pelukan ibu. Mungkin
dia merasakan beban yang amat berat untuk meninggalkan Kediri, tanah
kelahirannya. Menerawang jauh ke depan bahwa dia harus berjuang membahagiakan
suami dan anaknya di kota metropolitan, jauh dari sanak keluarga. Kembali
berkutat dengan pekerjaan mulia sebagai ibu rumah tangga dengan kesendirian serta
kembali menyesuaikan diri dengan para tetangga. Yah, begitulah beban yang harus
ia rasakan sebagai seorang istri dari suami orang STAN yang menuntut untuk
sering berpindah-pindah tempat kerja lagi jauh dari keluarga. Tapi ia adalah
sosok wanita yang kuat, sabar, dan menerima kenyataan yang ada. Oh kakak
iparku, semoga Alloh senantiasa menguatkanmu, dan memberimu kesabaran untuk senantiasa
berbakti pada pintu surgamu hingga akhir hayat.
Kami berpelukan dan mengucapkan selamat
jalan. Kucium tangan mas Kharis, dia minta pada adik-adiknya supaya diberikan
keistiqomhan di atas Islam yang haq ini. Pasti mas, aku akan selalu
mendoakanmu. Kucium Affan untuk terakhir sebelum ia pergi merantau ke Jakarta. Kami
lambaikan tangan dengan penuh haru, sambil hati ini berucap lirih di sanubari
yang paling dalam.
“Yaa Alloh... Jadikanlah mereka bahagia
dengan islam, jadikanlah mereka kuat dan istiqomah di perantauan. Karena semua
takdirMu adalah yang terbaik untuk hamba-hambaMu.”
Selamat jalan Kakak... Semoga engkau
dimudahkan di sana untuk menuntut ilmu syar’i yang mana merupakan jalan menuju
surga Alloh ta’ala. Mengemban amanat untuk selalu taat padaNya dan hanya
beribadah kepadaNya.
***
Kak...
Hendaknya kita mengukur ilmu bukan dari tumpukan buku yang kita baca,
bukan dari rentetan kata yang kita tuliskan,
dan bukan pula dari lelahnya mulut dalam berbicara soal agama...
Tapi, dari amal yang terpancar dari setiap desah nafas kita,
dan semakin takutnya hati kita pada Alloh ta’ala..
juga ketawadhu’an hati pada kebesaranNya...
Sesungguhnya padi itu apabila semakin berisi, maka ia akan semakin merunduk...
Begitu pula dengan manusia, apabila ia semakin berilmu, maka ia akan semakin tawadhu’...
Hendaknya kita mengukur ilmu bukan dari tumpukan buku yang kita baca,
bukan dari rentetan kata yang kita tuliskan,
dan bukan pula dari lelahnya mulut dalam berbicara soal agama...
Tapi, dari amal yang terpancar dari setiap desah nafas kita,
dan semakin takutnya hati kita pada Alloh ta’ala..
juga ketawadhu’an hati pada kebesaranNya...
Sesungguhnya padi itu apabila semakin berisi, maka ia akan semakin merunduk...
Begitu pula dengan manusia, apabila ia semakin berilmu, maka ia akan semakin tawadhu’...
Kediri, 8 Maret 2014
Di kamar tercinta
subhanallah
BalasHapus